Monday, October 20, 2008

Sang Hujan

Aku datang banyak manusia bersorak sorai. Dengan tanah tandus di sana sini, memang selayaknya aku ditunggu-tunggu. Ah, manusia memang aneh. Kekeringan itu bukahkah mereka sendiri yang menciptakan? Andai hutan tak digunduli, tentulah aku bisa meresap ke bumi. Menghuni bumi yang dingin lebih nyaman, daripada mengalir semua ke sungai. Karena sungai sekarang banyak yang dangkal tak mampu menampung aliranku yang melimpah ruah. Kemana aku harus mengalir? Manusia terlalu kejam di mataku. Jika aku meresap ke bumi, aku bisa menjadi bersih, aku akan menyebar ke segala penjuru yang bisa kujangkau. Kelak jika musim kemarau tiba, aku bisa menyambung kehidupan, bukan cuma kehidupan manusia tetapi tanaman dan hewan. Aku turun ke bumi tergantung suasana hatiku. Kalau aku sedang bergembira, aku akan turun kecil-kecil. Manusia biasanya senang denganku yang begini. Manusia akan memandangiku dari balik jendela. Menatapku, seolah-olah bilang jangan berhenti. Seakan aku bisa membantu mempersatukan mimpi manusia dengan kenyataan. Dengan secangkir cappucino di tangannya, manusia merasa itulah moment terbaiknya. Manusia-manusia itu makin lama menatapku makin sendu saja wajahnya, menerawang menembus rintik-rintikku. Entah apa yang ada dibenak manusia-manusia itu, mungkin ingat kenangan-kenangan romantisnya atau kenangan buruk yang merobek hatinya. Sebaiknya aku berhenti saja, supaya manusia segera bisa kembali bekerja, tak terlena oleh kedatanganku. Ahh manusia memang ada-ada saja. Kalau aku sedang luar biasa gembira, aku akan turun dengan deras. Aku memang menyayangi manusia. Aku ingin mereka bisa hidup makmur, dengan menjamin irigasi sawahnya. Aku ingin kebun bunga tak kering layu karena terpaan sinar mentari yang garang. Jika bunga-bunga bermekaran pasti manusia akan senang memandangnya. Aku sangat menyayangi manusia. Walau kadang-kadang aku benci dengan sikap manusia yang memanfaatkan kedatanganku untuk alasan bermalas-malasan. Terlambat datang ke kantor karena aku datang saat mereka harus berangkat kerja. Atau bahkan tidak masuk kantor. Memanfaatkan aku untuk mengingkari janji yang sudah dibuat karena aku datang. Ahh lagi-lagi manusia.. Kalau aku sedang ngambek, aku akan buat manusia menerka-nerka aku. Aku bakal turun enggak ya? Manusia menyebut seperti itu mendung. Di situasi seperti itu, manusia ada yang risau. Takut acaranya batal, takut jemurannya tak kering. Ada juga yang harap-harap cemas, dalam hati ingin segera aku turun, supaya sumurnya tak kering lagi, supaya debu-debu yang beterbangan di udara ini kembali menyatu dengan bumi tempatnya berasal. Manusia selalu merindukan udara yang segar. Tapi aku sedang ngambek. Kuminta bantuan angin temanku untuk meniupku ke belahan bumi yang lain, di mana aku akan turun dengan senang hati. Jika aku sedang sangat marah, aku akan datang bagai tercurah dari langit. Tak lupa aku akan bawa teman-temanku. Ada cahaya kilat, suara guntur bergemuruh dan angin puting beliung yang akan meyempurnakan kemarahanku. Kalau sudah bagini, manusia akan ketakutan. Ahh kasian juga manusia kalau sudah ketakutan. Untuk menghibur mereka, aku akan mereda dan biasanya aku panggil kawanku yang cantik untuk memperlihatkan diri kepada manusia. Dialah pelangi. Manusia akan gembira melihat pelangi, karena manusia luput dari angkara murka air bah seperti pada jaman Nabi Nuh dulu. Sebenarnya aku marah juga biar manusia sadar, bahwa alam sudah tidak seimbang. Dulu, aku bisa beristirahat selama 6 bulan. Sekarang, kapan aku harus datang dan pergi seperti tidak ada skemanya. Manusia ohh manusia.. Akulah Sang Hujan

No comments:

Post a Comment