Thursday, March 20, 2008

My neighbour

Aku baru menempati rumahku sekarang kira-kira 2 bulan yang lalu. Aku orang yang kurang luwes dalam bertetangga. Jadi tetangga depan, kiri dan kanan aku nggak kenal. Apalagi ditambah pagi jam 7.30 aku sudah berangkat kerja, dan pulang kutak pernah lihat sunset. Yang kutahu namanya adalah tetangga depanku. Aku kadang mengamati keluarga muda itu. Sebut aja namanya Pak Adi gitu (bukan nama sebenarnya) Beliau bekerja di sebuah perusahaan di Jogja, sepertinya punya karier bagus. Anaknya 3 orang yang 2 terakhir terlahir kembar. Masing-masing anak Pak Adi punya 1 pengasuh. Jadi pengasuhnya ada 3 (hmm..) Bu Adi konon pernah bekerja di sebuah bank ternama di Jakarta. Beliau resign karena melahirkan si kembar dan harus tinggal di Jogja. Yang menarik perhatianku adalah si kembar yang masih kecil-kecil ini (mungkin umurnya baru 6-7 bulan) Si kembar ini tiap hari kerjaannya nangiiiisss terus. Kalo yang satu diem, satunya nangis. Gitu terus nggak capek-capek. Jam 5 pagi kadang-kadang aku sudah terbangun karena tangisan si kembar. Padahal alarm-ku baru bunyi jam 06.15 nanti. Sebel tapi juga kasian aku sama si kembar. Aku pikir anak-anak Pak Adi tidak comfort tinggal di rumah itu. Bayangkan aja rumah kecil gitu dihuni oleh 8 orang. Pasti sumpek dan panas. Kulihat juga Bu Adi seperti sedang stress. Mungkin sedang mengalami post power syndrome. Apa si kembar ikut stress karena ibunya stress? Tak tahulah. Kegaduhan di rumah tetangga depanku tidak cukup hanya begitu. Minggu-minggu kemarin, salah satu si kembar sakit batuk. Batuuuukk..nangiiiisss..begitu yang satu sembuh gantian satunya sakit. Si kembar sembuh eh gantian kakaknya yang sakit. Duh kasian banget anak-anak kecil itu. Rupanya Pak Adi sudah memikirkan persoalan keluarganya. Dan keluarga ‘besar’ itupun pindah 3 minggu yang lalu. Aku dengar malam-malam truck pengangkut barang-barang. Sejak itu suasana sekitar rumahku jadi sepi. Tapi baru beberapa hari, mereka kembali datang ke rumah depan lagi. Kenapa ya? Aku tidak tahu. Suasana tangis-tangisan seperti kuceritakan di atas ada lagi. Tetapi itu hanya berlangsung seminggu. Setelah itu mereka benar-benar tidak tinggal di rumah itu lagi. Para pembelipun sudah pada nengok. Aku kog merasa kehilangan ya. Aku kehilangan kenyamanan mempunyai tetangga. Suara-suara anak-anak itu yang nemenin aku, kalau aku lagi sendirian di rumah, rasanya nyaman punya tetangga yang ber’suara’. Beda dengan tetanggaku yang di kiri dan kanan. Mereka semua sudah dewasa dan aktifitasnya padat. Jadi rumahnya sepi. Semoga saja rumah Pak Adi cepat terjual. Semoga saja yang membeli adalah keluarga ‘besar’ yang riuh rendah..Jadi depan rumah tidak akan lengang. Semoga..

No comments:

Post a Comment